hidup ga bisa ditebak, jadi tetaplah berlari!
(^_^)

Friday, December 23, 2011

The Livehood of Traveling Shoes - The Story cont.

Melaka memang cantik, dan dia belum berubah. Well, sebenarnya ada yang berubah; dia kini lebih dikenal. Kota tua itu makin ramai pengunjung, terlalu ramai bahkan. Pedagang jalanan pun makin ramai. Saya menikmati hari terakhir perjalanan saya bersama si Kriwil. Kami mengitari sudut-sudut kota tua itu diantara rintik hujan.

Seperti biasa, si Kriwil tidak begitu suka pakai payung. Saya pasti basah. Begitulah, berat memang berjalan bersama tuan yang satu ini; tapi, saya ngga bisa bohong, tetap saja menyenangkan. Saya menikmati setiap saat perjalanan ini, perjalanan terakhir saya bersamanya, tuan saya yang pertama dan terakhir.

Merahnya Melaka makin cantik diantara rintik hujan, belum lagi suasana sore yang mulai sejuk dan suara camar yang semakin ramai. Ah, suara itu benar-benar membuat saya nyaman. Saya setuju sama si Kriwil, ini memang kota yang tepat untuk berkontemplasi; menghayati apa arti hidup dan bagaimana seharusnya hidup. Sungguh saya beruntung akan menghabiskan sisa jejak saya di sini, di kota dimana bukit dan selat terikat, dimana camar dan burung gereja bernyanyi bersama.

Si Kriwil belum menemukan pengganti saya. Dia bertemu boot cantik berwarna abu-abu dan si jangkung heels tali yang menarik. Sayang, tuan saya ini memang bukan orang yang mudah jatuh cinta, Dia harus memastikan semuanya pas dan hatinya nyaman. Lalu apa yang kurang dari mereka? Sederhana. Kaki kirinya tak begitu nyaman dengan ukuran yang ada. Iya, kaki kiri si Kriwil sedikit lebih lebar dari nomer normal.

Sempat dia mampir di satu booth kecil di pinggir jalan. Sebuah jepit coklat menjadi pilihannya, kalau-kalau tak ditemukannya pengganti saya. Ah, saya yakin dia pasti sulit menemukan pengganti saya. Saya tak mungkin terganti, seperti dia pun tak bisa digantikan.

Ah, sudah waktunya si Kriwil pergi. Setelah segelas cendol campur aduk dan toast tuna di kopitiam pinggir sungai, kami pun berjalan menuju Stadhuy. Dia sudah memilih tempat yang tepat untuk saya. Bukan, bukan di pantaran sungai yang mungkin membawa saya pergi mengikuti arus laut. Dia memilih sebuah kotak biru-kuning tepat di sebelah pohon besar tempat para camar berkumpul, di depan gereja tua. Tempat yang tepat.

Saya akan tinggal di sini, sampai saya habis bersama bumi. Digilas waktu dan dimakan udara laut di bandar kecil dimana saya di'kawul'kan. Iya, tempat dimana saya diberi janji, dan telah ditepati.

Selamat jalan, Kriwil, tuan saya yang aneh (bukan gila, jangan lagi gaplok saya pake batu ya...). Jangan berhenti menapaki sudut-sudut dunia yang baru bagi matamu walau sudah tua dimakan waktu. Semoga kau temukan teman baru. Tapi saya tahu, tak akan mungkin ada yang seperti saya, si Sepatu Ungu.

Tapaki benua baru, Kriwil. Tepati janjimu.

-Saya, si Sepatu Ungu-

No comments:

Post a Comment