hidup ga bisa ditebak, jadi tetaplah berlari!
(^_^)

Saturday, January 7, 2012

Yang Tertinggal

Saya tiba-tiba teringat hari dimana saya sengaja menenggelamkan diri di nyamannya suasana SAM (Singapore Art Museum). Saya bukan seniman, tidak pernah berani berkata demikian walaupun saya mengakui bahwa saya mencintai dunia itu sangat. Dulu, saya bertahun-tahun berkutat di lingkungan teater. Saya rela jadi apapun, pemeran kah, pemusik kah, tukang dandan kah, juru kostum kah, bahkan tukang bersih-bersih panggung. Saya rela dimarahin tiap minggu karena selalu pulang awal dari ibadah minggu demi ikut latihan; bahkan saya rela pulang ke Jakarta tiap minggu waktu saya sudah mulai kuliah di Jatinangor. Hahaha, cinta membara!

Tapi, itu sudah lama dikubur. Bukan karena ngga mau, cuma karena waktu. Makin kesini makin sulit untuk bisa tinggal di komunitas teater tanpa ganggu waktu kerja atau waktu istirahat. Lalu, perlahan saya memutuskan untuk menuliskan enam huruf itu menjadi bagian hidup. Well, mungkin nanti... *fingercross*

Jadi, bayangkan bagaimana perasaan saya ketika masuk ke salah satu gedung SAM dan mendapati eksebisi seninya Amanda Heng (salah satu performing artist Singapore). Setelah puas dengan lukisan seniman Korea yang kerennya ga ketulungan (saya ngabisin hampir dua jam bermain-main mata dengan goresan tangan beliau, lalu beberapa saat lagi dengan karya-karya pemenang kompetisi seni), saya pindah gedung dan menikmati setiap detik dari fotografinya ibu Heng yang terhormat.

Yang bikin saya kangen segila-gilanya adalah ketika saya melihat video-video act performing-nya dan filosofi-filosofi 'aneh'nya. Saya kangen, bener-bener kangen. Saya kangen masa-masa dimana kelompok saya beneran disangka segerombolan orang gila yang lagi ngumpul di depan sekolah. Saya kangen spontanitas temen-temen saya yang tiba-tiba naik panggung baca puisi dan menyodorkan suling peyot ke saya demi sebuah 'suara latar menyayat hati' (katanya). Saya kangen celotehan ringan di ruang belakang sembari tangan sibuk membedaki para aktor sebelum tampil. Saya kangen bermain-main dengan pikiran lalu menghasilkan ide yang dianggap tidak masuk akal, tapi tetap dilakukan. Saya kangen komunitas itu.

Saking kangennya, saya sempetin ngobrol sama Ms. Heng. Kita ngobrol banyak, sangat banyak. Saya terharu dengan semua cerita beliau tentang eksebisinya kali ini. Untuk pertunjukan tiga bulan (saja) di SAM, dia menghabiskan 2 tahun waktu persiapan dan mengumpulkan 25 tahun memorinya. Temanya kali ini simple. Yang tua dan yang muda. Ibu dan anak. Sang bunda dan dirinya. Dua orang perempuan yang bertolak belakang; yang satu lahir dari rahim yang lain, tetapi jiwa mereka jauh berbeda.

Sulit menggambarkan perasaan trenyuh saya ketika melihat usaha keras Ms. Heng untuk di'terima' sang Ibu. Sebagai seorang anak, dia pasti selalu diterima. Tapi ibu mana yang ngga pusing ngeliat anaknya cuma sibuk bikin pertunjukan ngga jelas, performing act-nya pun ngga semua bisa diterima nalar. Dan Ms. Heng pun mencoba memasukkan si ibu dalam karyanya, bahkan meminta si ibu turut serta berkarya. Hasilnya, walau beliau tidak sepenuhnya mengerti, dia bisa menyadari bahwa wanita yang keluar dari rahimnya hampir setengah abad yang lalu itu memang punya jiwa yang berbeda.

Lalu saya tersenyum, lebih banyak tersenyum. Bukan karena gila, atau mengerti, atau sok-sokan menghargai selayaknya orang-orang datang ke museum seni. Saya senyum karena ngga bisa bilang apa-apa lagi. Saya senyum karena saya kangen jiwa itu ada lagi pada saya, dan berani itu menjadi bagian saya. Saya senyum karena malu, saya ngga punya kekuatan untuk memilih hidup seperti yang dia pilih; menjadi sepenuh dirinya walaupun terlalu berbeda dari akarnya. Saya senyum karena cemburu, tak saya punyai apa yang ia punyai, ketenangan hidup walaupun jadi tukang seni (mana ada negeriku tercinta ini bisa menjamin hidup jangka panjang saya kalau saya seperti dia. Bisa gila!)

Saya juga senyum karena saya menahan lapar.
Saya keluar museum demi mencari segenggam nasi tanpa bau kari india sambil membayangkan apa jadinya kalau saya tetap seperti saya yang dulu. Lalu saya kembali bermimpi...

*catatan kaki si pemimpi*

No comments:

Post a Comment