hidup ga bisa ditebak, jadi tetaplah berlari!
(^_^)

Wednesday, January 18, 2012

Diantara Gemericik Aek Na Rara

Pagi masih sunyi, jangkrik masih nyaring berbunyi, matahari pun masih bersembunyi. Pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya dan pagi-pagi berikutnya, anak laki-laki itu berjalan cepat melewati jalan setapak di tengah hutan di balik gunung; gunung yang sama yang selalu dilewati ayahnya seminggu sekali demi mencari ikan untuk dibuat asin dan di jual di desanya yang kecil dan tentram. Gunung yang selalu mengeluarkan air bersih berwarna kemerahan. Manis, segar dan dingin.

Usianya masih muda, tapi berladang setiap sore sepulang sekolah membuat badannya cukup berotot. Sayangnya, tidak cukup gempal seperti anak-anak sekolah jaman sekarang yang sehat-sehat, dia kurus tapi berotot, kecil tapi kuat. Langkahnya ringan dan cepat; bukan apa-apa, sekolahnya jauh. Sangat jauh. Menyebrangi gunung tiap pagi untuk sampai di kota kecil Onanganjang demi memegang mimpi sang ayah; semua anak laki-laki harus sekolah yang tinggi. Biar jadi orang.

Saudaranya banyak. Tujuh orang. Hanya tiga orang perempuan, selebihnya laki-laki. Sama kurus dan berotot seperti dia. Mereka selalu pergi ke sekolah bersama, tapi saudara-saudaranya selalu saja tertinggal. Dia berjalan terlalu cepat; seakan terburu-buru. Setelah hampir dua jam berjalan, sampailah dia di pinggir jalan besar menuju ke kota. Banyak kedai di sana, beberapa supir suka mampir dan istirahat disana. Duduklah dia di salah satu kedai yang paling sering dikunjunginya.

"Heh, nga mangan ho, amang?" tanya si ibu pemilik kedai padanya. Sudah makan? Tentu saja belum. Makan apa pagi-pagi buta begini. Ibunya sudah pergi ke sungai, ayahnya masih di kota lain. Iya, dia pergi tiap minggu, tak pulang beberapa hari untuk mengumpulkan barang dagangan yang akan di jual di desa; termasuk makanan kesukaannya, ikan asin. Sambil tersenyum dia menggeleng malu.

Si ibu, seperti biasa, pasti membuatkan teh panas untuknya. Biasanya langsung habis karena terburu-buru, saudara-saudaranya sudah menyusulnya. Tapi hari ini agak berbeda. Dia menunggu mereka lama sekali. 

"Holan ho do na marsikola saonari?" si ibu pun heran melihat dia sendiri saja. Kemana saudara-saudaranya? Apa yang menahan mereka?

"Dohot do akanghu dohot adekhu, alai dang huboto didia nasida...." jawabnya tak mengerti dimana mereka. Sambil menunggu, dinikmatinya mobil yang lalu lalang di jalan besar bertanah merah itu. Satu bis kecil, satu elf, satu elf lain, lalu elf berikutnya, bis lagi, masih bis lagi, lalu mobil kijang kotak putih. Kotor, lumpur jalan mengotorinya, tapi tak membuat matanya luput melihat. Masa itu, mobil masih terlalu mewah untuk menjadi nyata. Tak perlu mobil pribadi macam ini, punya elf untuk disewa supir angkutan saja sudah hebat. Mata anak laki-laki itu menatap pria setengah baya yang keluar memarkir mobilnya di samping kedai.

Tak lama kemudian pria dendi itu keluar, membuka pintu untuk istrinya yang duduk di depan sambil menggendong bayi, dan membantu anak laki-lakinya yang duduk di belakang. Keluarga muda, tapi anak itu tahu bahwa pria ini cukup sukses. Dia punya mobil, dia pakai baju necis, istrinya pun cantik. Bukan, bukan cantik yang penuh riasan. Ini cantik yang cantik. Anak itu tahu wanita di depan matanya cantik luar dalam, dan pantas memang pria itu bersanding dengannya. Mereka sangat sederhana untuk ukuran orang sukses yang (sepertinya) sedang pulang kampung.

Mereka memilih beristirahat di kedai ini. Betul dugaan anak itu, mereka baik. Sang pria setengah baya itu mengajak dirinya berbincang; siapa namamu, kelas berapa kamu, dimana rumahmu, sedang apa kamu. Bahasa Indonesianya memang tak begitu bagus, tapi menurut pria itu dia punya otak yang brilian. Brilian? Apa itu? Katanya, itu sama dengan pintar. Wah, saya pintar, batinnya senang.

Ada satu pertanyaan sang pria yang mengusik hatinya; apa cita-citamu. Hm, apa cita-cita saya? Tanpa terlebih dulu menjawab, dia balik bertanya, "Apa kerja amang?"

Pria itu tersenyum, "Ah, pekerjaan ringan. Saya pegawai negeri saja kok, amang. Tapi ya begitulah, jaman sekarang ini sulit memang cari kerja. Cukup enaklah jadi pegawai negeri ini, ada uang tunjangan, ada uang kesehatan. Bisalah nabung sedikit-sedikit. Nanti tua pun ada uang pensiun, biar ngga nyusahin anak saya nanti." Anak itu manggut-manggut. Pegawai negeri. Sering di dengarnya jenis pekerjaan itu. Gurunya di sekolah juga pegawai negeri. Tapi mereka tidak terlihat seperti pria baik hati ini.

"Pegawai negeri itu kerja dimana, amang?" tanyanya polos.

"Di mana saja bisa, tergantung departemennya. Kalau saya kebetulan di Jakarta. Dulu, saya merantau ke sana, mencoba peruntungan. Untungnya banyak saudara yang nolong. Itulah orang batak ini, amang. Masih kental kali persaudaraannya, biarpun sudah di Jakarta."

Anak itu terdiam. Departemen? Apa itu? Jakarta? Hm, kota yang selalu disebut-sebut gurunya sebagai metropolitan, ibukota negara. Tempatnya orang sukses.

"Saya mau ke Jakarta. Itu cita-cita saya. Saya mau jadi pegawai negeri!" tiba-tiba anak itu berkata lantang, seolah membuat janji untuk dirinya atas masa depannya. Sang pria tertawa, istrinya pun ikut tertawa.

"Bisa, kamu pemberani dan pintar. Kamu bisa pergi ke Jakarta dan berjuang di sana. Asal, jangan pernah menyerah..." kata pria itu sambil menepuk pundaknya.

"Eee... na malo do ho, amang. Sukses ma ho annon da..." doa sang ibu kedai, sambil mengusap-usap wajah si anak.

Di kejauhan di dengarnya suara abangnya memarahi adiknya yang kecil. Rupanya mereka tertahan karena si kecil jatuh berulang kali, kotor bajunya. Berantakan sekali, tidak layak masuk sekolah tapi mereka tetap pergi. Pulang ke rumah bisa lebih lama lagi.

Adiknya masih menangis, abangnya masih marah-marah. Dia pamit pergi dan berlari mengejar mereka sambil berteriak, "He, bang. Molo nga lulus ahu, naeng lao tu Jakarta ma ahu. Naeng karejo pegawai negeri, asa sukses songon amang na di kode i... Dohot do ho?" (*)


-menjelang hari ke delapan belas di bulan pertama-
Happy Birthday, dearest dad..
Pak Buncit

(*) "Hei, bang. Kalau aku sudah lulus, aku mau pergi ke Jakarta. Mau kerja pegawai negeri biar sukses seperti bapak yang di kedai itu. Mau ikut ngga?"

2 comments:

  1. huaaa,, nangiss.. :'(
    luv papa.. :*

    ReplyDelete
  2. Fiksi... cuma coba2 mikir si bapa niat ngerantau ke jkt teh dr mana..
    Masih bangga ngeliat tukang sapu yg satu ini berhasil jd pejabat...

    ReplyDelete