Saya kagum melihat cicak di dinding retak berwarna putih kusam
itu. Kakinya terlihat rapuh; kecil dan ringkih. Jari-jarinya melebar regang
berusaha merenggut kuat lapisan dinding. Ekornya terkulai lemah tak berdaya.
Tubuh putih transparannya seperti tak punya sisa-sisa gizi yang bisa
dibanggakan bahkan untuk sekedar membuat warna kulitnya sedikit coklat. Tapi,
keadaan itu justru membuat saya kagum padanya.
Bagaimana tidak? Lah wong saya yang sebegini suburnya tak pernah
mampu menempel sebegitu lamanya pada tembok tua lembab yang telah mengukung
hidup saya selama tiga tahun ini. Sedu hati saya memikirkan betapa rasa kagum
yang dulu membuat saya terus memandangi cicak uzur itu kini perlahan bergeser
menjadi cemburu. Iya, saya cemburu. Betul-betul cemburu. Masakan cicak yang
sebegitu tak berdayanya sanggup menggenggam dunia yang ditapakinya, sementara
saya tidak sedikitpun punya kesempatan untuk bisa menapakkan kaki kokoh ini di
tanah merah alas rumah usang yang dipakai si tuan tanah untuk menyimpan beras hasil
panennya awal tahun ini.
Lihat, sekarang dia bergerak perlahan. Benar-benar perlahan. Ah,
tampak sudah habis energinya untuk hidup, tapi masih saja kakinya menggenggam
kuat dan matanya terbelalak lebar. Bahkan bulatan perutnya sudah kembang kempis
saat dia mencoba menarik sedikit oksigen yang bersembunyi dibalik sumpeknya
udara. Sudah, mati saja kau, cicak! Jangan lagi kakimu merenggut, jangan lagi
matamu menatap.
Ah, dasar kepala batu! Masih saja dia
berusaha berjalan lamat... Tak kau hirau kah letih tubuhmu? Tak pedulikah
engkau pada ringkih jiwamu? Tak kau sadarikah lelah mata bulatmu membelalak
hanya sekedar berharap duniamu tak runtuh seperti yang telah mereka katakan
pada kita kemarin sore?
Si tuan tanah tampaknya tak peduli pada kehidupan kita. Buktinya, dia terlalu malas merawat lumbung ini. Duniamu, cicak ringkih... Yah, baiklah. Dunia kita. Tak hanya duniamu, ini juga duniaku. Tetap saja itu
tidak mengubah apapun. Si tuan tanah tetap akan menjual dunia ini, dunia
kita. Saya tahu, dia tak butuh sepeserpun uang untuk menambah lebih banyak lagi
dari uangnya yang sudah banyak. Dia hanya tak mau merawat rumah ini. Rumah ini, cicak ringkih. Rumahmu. Rumah kita!
Tentu saja kita
bukan apa-apa. Sewaktu minggu lalu dia mengambilku dari tuanku, kupikir dia memang membutuhkanku untuk menjaga lumbung padi ini dari ayam-ayam nakalnya.
Hati-hati, cicak ringkih! Getaran dinding itu hampir membuatmu jatuh
terkapar! Sudah, pasrah saja. Apa lagi yang mau kau lakukan? Berlari dan
berteriak bahwa kau punya hak untuk tetap mempertahankan dinding kusam itu? Nah,
nah, sekarang ekormu sudah putus terkulai. Sebentar lagi tubuh ringkihmu terlempar entah kemana. Ah, cicak malang... Tak lama kita berteman, baru tadi malam kulihat matamu hampa menatapku sedih. Bisa kurasa senangnya dirimu mendapat teman baru, sayangnya sebentar lagi kamu mati.
Nah, lihat... sekarang kamu pun terjatuh. Napasmu kembang kempis menahan sakit, jari-jari kakimu meregang merenggut hidup yang sebentar lagi diambil darimu. Sudahlah, lepas saja dia yang kau kasihi, tenang saja kau pergi. Toh nanti mungkin kau dapat dunia baru di alam saya, mungkin saja Sang Bijak berpihak padamu dan memberimu tubuh yang lebih kokoh dan dunia yang tak mungkin diruntuhkan si tuan tanah. Mungkin saja kita nanti bertemu. Entahlah, yang jelas akan kubuka genggaman tanganku sekarang dan memilih untuk melepas duniaku. Sampai jumpa, cicak ringkih kawanku...
Perlahan anjing tambun itu menutup mata. Darah mengalir deras dari perutnya yang membuncah tertimpa runtuhan tiang atap. Di ujung sebelah sana, seekor cicak mati terbelalak tepat di sebelah ekornya yang telah putus. Di luar, seorang bapak setengah baya berlari tergopoh ke arah gudang tua yang berdiri hanya dengan satu sisi tersisa; selebihnya sudah runtuh dibawah roda buldozer coklat tua.
No comments:
Post a Comment