hidup ga bisa ditebak, jadi tetaplah berlari!
(^_^)

Thursday, July 7, 2011

Yin dan Yang sang Ibu Jonas - Catatan Samping East Java Trip

Selama di Malang, saya menginap di Jonas Homestay. Homestay ini beneran nyaman (menurut saya), bahkan untuk pertama kalinya saya ketemu homestay di Indonesia yang ada fasilitas internet (sejam 3rb) dan WiFi gratis buat tamu. Dapet breakfast seperti biasa dan pilihan kopi ato teh. Sayangnya, ga kaya di luar yang bebas minum kopi ato teh dan bebas ambil buah (jadi kalo udah miskin melarat, tetep bisa makanin buah di homestay, hihihi), disini yang bebas ambil cuma air putih aja.


Kamar yang kami pilih besar, cuma 150rb semalam padahal (menurut saya lagi) satu kamarnya bisa diisi 5 orang. Ga ada selimut sih sayangnya, tapi tetep aja nyaman. Ada tivi, walaupun saluran lokal semua. Jadi selama trip ini, tiap kali nonton tipi (demi menghindari sinetron Indo yang geje abis), saya pasti pilih spongebob. Atau sekalian ga nonton, toh lebih banyakan di luar buat jalan, pas sampe homestay mending nongkrongin inet ajah.


Nah, semalam kami sampai di homestay udah cukup malam. Setelah beres-beres, saya pun mulai menulis. Lumayan, saya tulis 5 notes. Tiga udah di upload, moga-moga pada seneng bacanya. Yang satu baru diupload tadi dan satu lagi ya yang ini. Sengaja ga langsung saya keluarin abisnya ada temen-temen saya yang lebih takut makhluk halus dari pada makhluk kasar, hehehe. Trus apa hubungannya? Sebenernya, menurut saya ga ada. Saya cerita masa lalu si ibu ini juga ga pake rasa-rasa gimana. Saya tertarik sama kisah masa lalunya makanya saya tulis.


Ibu bercerita kalau dia menikah 3 kali. Whoa, rajin amat bu! Hidupnya dengan suami pertama baik-baik aja. Dia punya anak 4, tiga wanita satu pria. Menurut mitos yang dia dengar, anak berkelamin sama ga boleh tinggal bareng kalo jumlahnya tiga. Ibu punya tiga anak perempuan, semua orang memintanya untuk memisahkan salah satu anaknya, kalau engga salah satu pasti kalah. Well, saya tiga bersaudara dari perut mama. Tiga-tiganya tinggal bareng dari kecil. Kalau dibilang soal kalah, mungkin saya yang kalah; karena dari kecil dua adik saya akrab dan saya memang aneh sendiri. Tapi apa itu artinya kalah? Hm, kok saya ga terima dibilang gitu ya...hehehe...


Waktu saya sudah merantau, di rumah nambah satu anak perempuan lagi. Dan adik-adik saya tidak ada yang 'kalah', menurut saya ya. Well, kadang yang satu lebih akrab dengan yang lain atau yang lain sedang bertengkar dengan yang satunya, tapi menurut saya itu wajar. Namanya juga kakak-adek, mana seru kalo ga ada berantem-berantemnya, hahaha. Tidak, tidak. Saya tidak kalah, adik saya tidak kalah. Kadang mereka akrab, kadang saya akrab dengan yang satu, kadang dengan yang lain. Tapi kami memang berbeda, tak perlu merasa kalah.


Cuma, si ibu yakin bahwa memang seharusnya tiga anak perempuannya ini tidak bersama. Kenapa? Karena salah satu dari mereka akhirnya mati. Dibunuh. Salah satunya kalah. Saya kaget dengernya. Jadi begini ceritanya.


Suami ibu meninggal dan setelah beberapa lama jomblo, si ibu menikah lagi dengan seorang Belanda. Hanya 8 tahun pernikahan, tapi untuk si ibu, 8 tahun ini membawa perjuangan yang berat. Selama menikah ga ada yang aneh, si ibu merasa bahagia dan si suami pun begitu. Ibu tiba-tiba langsung bilang, "Kamu itu harus tau entahkah kamu Yin atau Yang. Jangan sampai kamu menikahi orang yang sama-sama Yin atau sama-sama Yang, nanti seperti saya. Tersiksa!" Well, sekali lagi saya bilang, saya bukan orang yang percaya mitos. Tapi saya setuju jika dalam satu hubungan ada yang dominan maka yang lain seharusnya melembut, kalo sama-sama keras ya pecah dong. Menurut si ibu, dia adalah Yang, dan suami Belandanya juga Yang. Dia dominan dan suaminya dominan. Hm...


Di masa pernikahan mereka, suami si ibu mencari rumah ibu kandungnya di Indonesia. Akhirnya, setelah 8 tahun, itu rumah ketemu juga. Lalu si suami minta ijin untuk pergi ke Belanda, begini beliau bilang, "Saya mengajar di sana, kamu ga usah ikut. Jaga anak-anak di sini." Maka si ibu tinggal dan si suami pun pergi. Tapi, menurut si ibu, suaminya ini ternyata kabur. Karena misi untuk mencari rumah ibunya sudah selesai (dia butuh bantuan si ibu untuk cari rumah ini di Indonesia. Lebih mudah karena dia punya istri orang Indonesia pada masa itu), maka dia pergi. Tidak dicerai, sama sekali tidak. Beliau cuma bilang gini, "Sudah, lupain aja. Kamu cari suami lain." Lah? Emang nikah kaya ngawinin silang anjing turunan ya?? Enteng amat abis kawin trus disuruh cari suami lain? *garukgaruk*


Ibu ga terima. Dia sampe nulis buku tentang kisahnya bersama suami Belandanya (wah, si ibu penulis juga!), lalu menyusul beliau ke Belanda sekalian meminta pertanggungjawaban pemerintah Belanda. Wakz?? Bisa ya? Well, saya awam dalam hal ini, jadi saya menulis saja apa yang dia ceritakan. Nah, semasa dia di Belanda inilah ada kejadian tak mengenakkan di rumahnya di Malang. Pacar anak keduanya cemburu sama anak pertamanya. Lho? Kok bisa? Well, saya ga nanya-nanya. Saya sedang jadi pendengar, jadi saya memilih untuk tak mengorek detail. Ibu sedang curhat.


Saking cemburunya, entah bagaimana, dibunuhlah anak pertamanya ini. Si ibu pulang dan berduka. Saya kaget, kok bisa ya? *sigh* Setelah itu, si ibu berbenah hidup. Dia menata lagi hidupnya dan memulai lembaran baru. Penuh duka tentunya, tapi lebih baik memulai saja; begitu katanya. Dia robek itu surat nikah, ga pake cerai. Cuma robek surat nikah. Sudah. Dan dia berjalan. *prok! prok! prok!


Sekarang si ibu berusia hampir 70 tahun, 60 sekianlah. Dan dia baru saja menikah tiga tahun lalu. HAH?? *garukgaruk* Banyak hal yang saya ga ngerti di dunia ini, termasuk masalah ini. Kok bisa ya? Well, itu keputusan beliau. Sering kali saya bertentangan dengan prinsip banyak orang, tapi tak berarti lantas tak menghargai keputusan itu kan? Hidup adalah perjalanan dan setiap detiknya berisi keputusan. Itu keputusan beliau, saya menghargainya. Sekarang beliau hidup bahagia sama Bapak. Saya sudah ketemu bapak dan sedikit berbincang dengan beliau. Betul kata si ibu, jika benar ibu adalah Yang, maka bapak memang Yin. Mereka berbeda, sangat berbeda.


"Kalaupun kamu mau menikah campur dengan orang luar nanti, nduk, coba pikirkan baik-baik. Karena kawin campur itu ga segampang yang kita kira, mereka sering menganggap kita bodoh." Waduh, bu... saya emang suka bule soale mereka tinggi-tinggi. Tapi nikah sama bule? Hm, belum pernah kepikiran kecuali waktu saya lagi norak-noraknya cari cara injek tanah Eiffel. Saya pernah menyusun rencana bareng temen saya buat kawin kontrak di Belanda. HAHAHAHAHA! Tapi serius, it's just a wild thought. I'm maybe weird, but not crazy!! Hahahaha...


Oh iya, teman-teman jalan saya banyak cerita tentang kejadian-kejadian ganjil selama mereka di homestay ini. Tapi saya sama sekali ga ngerasa apa-apa. Saya nyaman, titik. Selama mereka ga ganggu ya sudah saja. Tadi pagi ga sengaja saya bercerita tentang ini ke mereka. Weil, ga bener-bener cerita, karena baru di buka aja semua hal udah dihubung-hubungkan sama cerita ini, hehehe. Akhirnya saya memilih diam. Menurut saya, satu kejadian mungkin memang berhubungan dengan kejadian lain, tapi bukan berarti setiap kejadian harus dihubung-hubungkan.


Saya memang penakut, tapi saya lebih takut makhluk kasar dari pada makhluk halus. Hantu memang menakutkan, they can really scare me out, but they will never ever able to touch me. Itu udah terbukti dari jaman kuda gigit batu, saya dipelet juga ga mempan. Saya lebih takut sama manusia yang bisa bikin apa aja tanpa mikir panjang. Jadi, tulisan ini bukan buat bikin takut. Serius. Saya malah seneng denger si ibu cerita panjang lebar tentang masa lalunya. Menurut saya, ini adalah kisah perjalanan si ibu yang dia jadikan tolak ukur pembelajarannya. Jadi, kalaupun ada kawan saya yang (katanya) merasa melihat sesuatu di kamar atau tiba-tiba melihat tetesan darah di sprei, saya cuma senyum-senyum aja.
Again, they can scare me but can't touch me; so why botter?


*kriwil siap berangkat ke Bromo*

No comments:

Post a Comment